1.
Pendahuluan
Alegori
dikenal sebagai sebuah penafsiran yang hampir menyerupai perumpamaan. Tetapi
biasanya alegori lebih panjang dan terperinci daripada perumpamaan dan kiasan.
Alegori mempunyai hubungan yang erat dengan perumpamaan. Itu sebabnya buku-buku
hermeneutik sering menempatkan pembahasan kedua topik ini berdekatan. Pada
dasarnya alegori merupakan metafora yang lebih luas, sedangkan perumpamaan merupakan
ibarat yang lebih panjang. Atau boleh dikatakan, alegori merupakan cerita yang
mengadakan beberapa perbandingan. Itu sebabnya dalam alegori terdapat ide-ide
yang sulit dipastikan maknanya. Tidak sama dengan perumpamaan, biasanya alegori
menggabungkan cerita dan penjelasan (aplikasi) menjadi satu. Perumpamaan
biasanya hanya memiliki satu tujuan utama, dan analogi-analogi dalam perumpamaan
ini mendukung tujuan ini. Tidak demikian dengan alegori. Alegori dapat memiliki
tujuan disamping satu tujuan saja.
- Terminologi
Kata
alegori (allegory) berasal dari
bahasa Yunani yang berbentuk verba yaitu allhgorew artinya mengibaratkan. Kata ini hanya dipakai satu kali di
Surat Galatia 4 : 24.
- Defenisi
Alegori
merupakan salah satu model tafsir yang terkenal pada abad pertama hingga abad
pertengahan. Pendekatan ini digunakan untuk mencari makna dibalik kata-kata
yang tertulis di dalam teks. Di kalangan rabi-rabi Yahudi, model ini merupakan
salah satu alternatif model tafsir, selain penafsiran literer, midrash, dan pesher. Dengan kata lain, alegori adalah
perumpamaan yang jauh lebih rumit. Berbeda dengan perumpamaan, alegori tidak
begitu memperhatikan nasihat moral melainkan kebenaran yang bersifat teoritis.
- Lahirnya Kritik
Pendekatan alegori lahir untuk
menyikapi pesan teks-teks Alkitab. Pendekatan ini dilahirkan oleh seorang
penafsir Yahudi pada abad pertama yang bernama Philo. Keberadaan teks-teks kuno
seperti Taurat dalam tradisi Yahudi dan mitologi-mitologi dalam tradisi Yunani
tidak lagi dianggap sebagai sebuah kebetulan, tetapi menyimpan pesan moral dan
nilai-nilai kebenaran yang dari masa lampau. Dengan pendekatan alegori, Philo
yakin pesan-pesan spiritual yang tidak dapat diungkapkan oleh teks secara
harafiah dapat diungkap.
c. Pertama
Dirumuskan
Tafsir alegoris diperkenalkan
oleh orang-orang Yunani yang secara
khusus dikembangkan melalui filsafat Stoa. Pendekatan ini dinilai sebagai solusi
untuk menjembatani ketegangan antara mitologi-mitologi Yunani dan perkembangan
filsafat. Dengan demikian, tafsiran alegori umumnya bersifat pembelaan (apologetis).
- Alasan Perlunya Penafsiran Alegoris
Menurut
Philo, ada alasan-alasan tertentu yang membuat arti harafiah teks Alkitab harus
ditolak. Untuk itu, dia mendaftarkan 10 alasan mengapa teks perlu ditafsir
secara alegoris:
1.
Jika makna literer teks tidak mengatakan apa yang benar megenai
Tuhan.
2.
Jika teks bertentangan dengan teks yang lain.
3.
Jika teks tampaknya harus ditafsir alegoris.
4.
Jka teks menampilkan kata-kata yang bermaknya ganda.
5.
Jika teks memuat pengulangan yang telah diketahui sebelumnya.
6.
Jika teks memuat penggambaran yang beragam.
7.
Jika muncul kata-kata yang sinonim.
8.
Jika ada hal-hal yang tidak normal muncul di dalam teks.
9.
Jika teks memuat permainan kata.
10. Jika teks memuat
simbol-simbol
Philo
berbuat demikian karena bermaksud membela teologi orang Yahudi di depan
filsafat Yunani, dan membuat Kitab Suci relevan bagi orang yang sezaman
dengannya. Dia membaca Kitab Suci sebagai kumpulan simbol yang berguna untuk
kerohanian dan moral manusia. Itu sebabnya Kitab Suci tidak boleh ditafsir
dengan pendekatan harafiah dan historis. Walaupun adakalanya dia bersikap bahwa
penafsiran harafiah dan alegoris boleh hidup bersama. Selain itu Philo percaya
ketika menulis Kitab Suci, para penulis sesungguhnya berada pada keadaan pasif
dan tidak menguasai diri.
Dia
juga berpendapat makna harafiah hanya bagi mereka yang belum memiliki daya
pikir yang dewasa. Jadi makna harafiah ibarat tubuh jasmaniah Alkitab,
sedangkan makna Alegoris makna yang terpendam dibawah makna harafiah, sama
seperti roh atau jiwa Alkitab.
Philo
bukan satu-satunya orang Yahudi yang menafsir dengan pendekatan alegoris, atau
sebelum atau sesudah zaman itu. Selain dipengaruhi filsuf Yunani, dia juga
dipengaruhi oleh rabi-rabi yang menafsir secara alegoris. Walaupun penafsiran
pola ini tersebar luas diantara prang Yahudi abad pertama tetapi tidak dominan
di Palestina.
e.
Metode Penafsiran
Alegoris
Alegori adalah metafora yang diperluas. Seperti metafora,
alegori dipakai untuk mengibaratkan sesuatu sebagai sesuatu yang lain, tapi
lebih rinci dan panjang daripada metafora. Alegori adalah cerita yang
mengajarkan banyak kebenaran melalui pelbagai metafora, sedangkan perumpamaan
biasanya hanya mengajarkan satu pokok kebenaran. Berbeda dari perumpamaan,
tidak setiap alegori mempunyai alur cerita - walaupun ada juga yang memiliki
alur, seperti Gal 4:21-31. Contoh-contoh alegori lainnya terdapat dalam Mzm 80:8-15; Ams 5:3-5; Pkh 12:3-7; Yoh 15:1-8; 1 Kor 3:10-15.
- Hal – Hal yang
Perlu Diperhatikan Dalam Penafsiran
1. Alegori
memiliki persamaan dengan metafora, perumpamaan, dan ibarat. Jadi banyak
prinsip dan metode yang berlaku atas tiga macam bahasa kiasan terakhir ini,
juga berlaku atas alegori
2. Untuk
memahami alegori, penafsir perlu terlebih dahulu menanggapi tujuan utama
alegori tersebut. Biasanya alegori memiliki sebuah tujuan utama di samping
beberapa tujuan pendamping. Jangan dibingungkan oleh tujuan pendamping atau
perbandingan yang ada dalam alegoris, sehingga memasukkan terlalu banyak ide
penafsir sendiri ke dalamnya.
3. Perhatikan
konteks alegori yang ditafsir. Bila perlu, bacalah berulang kali seluruh kitab
yang bersangkutan. Ini sangat menolong penafsir menemukan tujuan alegori itu.
Dalam penyelidikan konteks, selalu memperhatikan sebab alegori ini diberikan,
pembaca atau pendengar yang terlibat, reaksi mereka, serta ajaran yang ingin
disampaikan alegori ini.
4. Banyak
alegori dapat dipahami dari penjelasan yang tercantum di dalam kitab yang
terkait.
5. Untuk
lebih menguasai isi sebuah alegori, penafsir boleh membuat daftar yang
mencantumkan informasi yang diberikannya. Daftar ini menunjukkan apa yang
disampaikan alegoris itu, apa yang sudah dijelaskan penulis kitab, dan apa yang
belum dijelaskannya. Penafsiran atas alegori harus didukung oleh data dalam
alegori itu sendiri. Buatlah penjelasan yang sesederhana atau senatural
mungkin. Jangan menjelaskan setiap perbandingan jika itu tidak memungkinkan.
6. Perhatikan
bagian lain dalam Alkitab yang mungkin memberi informasi tambahan.
7. Jangan
melalaikan budaya, kebiasaa, kehidupan sosial, lingkunga, sejarah, dan
lain-lain yang mungkin berhubungan dengan alegori yang terkait. Beri perhatian
khususnya kepada ungkapan yang lazim dipakai pada zaman itu.
8. Sebagai
salah satu jenis bahasa kiasan, alegori jangan ditafsirkan dengan makna harfiah
saja. Namun demikian, sebelum menafsirnya secara kiasan, penafsir perlu
menguasai makna harfiahnya terlebih dahulu.
- Sejarah Perkembangan metode tafsir
- Perkembangan
Penafsiran Alegori
Kekristenan perdana yang banyak berjumpa dengan filsafat Yunani menjadikan tafsir
alegoris sebagai solusi untuk memahami pesan-pesan Alkitab. Secara khusus, penafsiran
Alegoris diwariskan oleh gereja-gereja Barat yang memang banyak begumul dengan
filsafat Yunani. Contoh konkret terlihat pada zaman Patristik ketika Bapa-bapa
gereja memahami bahwa Perjanjian Lama sebagai Alkitab orang Kristen harus digunakan untuk mendukung
Perjanjian Baru. Dengan demikian metode yang digunakan adalah metode
alegoris.
Secara khusus Origenes mengatakan bahwa Alkitab adalah tempat
berkumpulnya alegori-alegori yang penuh dengan simbol. Sama seperti manusia yang terdiri dari
tubuh, jiwa, dan roh maka Alkitab
juga dibagi dalam tiga makna, yaitu literal (dipadankan dengan tubuh), moral
(jiwa), alegoris (roh). Dari
ketiga tingkatan ini, menurut Origenes, Alegorislah yang paling penting.
- Perkembangan
Kemudian
Setelah
Abad Pertengahan, khususnya sejak zaman Reformasi, tafsir alegoris mulai
ditinggalkan. Alkitab diyakini
dapat menafsir dirinya sendiri (scriptura scripturae interprets). Sikap reformasi ini memang tidak
mematikan pendekatan terhadap Alkitab, termasuk pendekatan alegoris. Akan
tetapi, sikap tersebut mendorang para penafsir untuk lebih berfokus persoalan
gramatika dan sejarah teks.
c. Yang
menggunakan Tafsiran Alegori dan konteks
sosialnya
Demi melawan ajaran bidah dan berupa menerima PL sebagai
Kitab Suci orang Kristen, bapa-bapa
gereja menggunakan penafsiran alegoris.
Theogenes dari Rhegium (kira-kira tahun 520 Seb.M) mungkin
adalah orang pertama yang menafsir secara alegoris karya sastra yang bersifat
agama yang ditulis oleh Homerus. Kemudian penafsiran ini diperkenalkan kepada
Aleksandria, yang ada komunitas besar orang Yahudi. Disana pula banyak orang
Kristen tinggal. Orang Yahudi di Aleksandria menghadapi masalah dengan orang
Yunani dan mereka menghadapi ketegangan antara Kitab Suci dan filsafat Yunani
khususnya filsafat Plato. Untuk mengatasi persoalan ini, mereka menggunakan
pendekatan alegoris ini. Aritstobulus yang hidup pada tahun 160 seb.M mungkin
adalah orang Yahudi pertama yang
menerima pendekatan ini. Dia percaya bahwa sesungguhnya Musa mengajar filsafat
Yunani, dan filsafat Yunani sudah meminjam ide-ide PL, khususnya Hukum Taurat.
Berkenan dengan ini sudah tentu nama Philo sangat terkenal
Di
Aleksandria, Philo menggunakan metode
alegoris untuk mengurangi referensi dan hal-ikhwal dalam PL yang menyakitkan
hati bagi para penyembah berhala. Origenes
di Aleksandria (200 M) melanjutkan metode ini demi kepentingan kekristenan.
Di balik rincian ritual dan sejarah yang tidak menyenangkan, Origenes menemukan kebenaran-kebenaran
abadi.
Dengan
mengusulkan bahwa PL memiliki lapisan-lapisan makna di balik yang harfiah, ia
membuat PL dapat diterima dan ia mempertegas kesatuan PL dengan PB, yang
berlawanan dengan pandangan orang seperti Marcion.
Dalam Injil-injil beberapa perumpamaan telah diberi pemaknaan alegoris, dan
dikatakan bahwa rincian perumpamaan berisi arti yang lebih dalam, sebagaimana perumpamaan
Seorang Penabur (Mrk. 4:3-8, yang dijelaskan dengan 4:14-20). Bagi mereka yang cenderung pada pandangan keras, bahwa
perumpamaan-perumpamaan Yesus memiliki makna tunggal, tidak bermacam-macam,
alegorisasi seperti itu menunjukkan perkembangan dalam persekutuan setelah
zaman Yesus. Hal ini tidak harus dianggap tidak sah, tetapi terbuka bagi para
pembaca dari kebudayaan dan generasi yang berbeda-beda, untuk memberikan
penafsirannya sendiri atas teks-teks tersebut. Penulis aslinya tidak memiliki hak
cipta atas interpretasi tertentu. Ia hanya menyampaikannya dengan cara itu, dan
kemudian memperoleh makna-makna baru, sekalipun bukan sekadar khayalan atau
kesewenang-wenangan. Namun, kini banyak sarjana menerima bahwa Yesus sendiri
kemungkinan menggunakan beberapa alegori dalam perumpamaan-perumpamaan-Nya.
Dengan mengambil pembedaan Paulus (2Kor. 3:6) antara 'yang tersurat' dengan 'yang tersirat', umat
Kristen menafsirkan secara alegoris ketetapan-ketetapan dalam Taurat yang tidak
lagi dipatuhi, seperti seluruh sistem kesucian ritual. Dengan demikian, berarti
mereka menghormati kepengarangan Kitab Suci yang telah mereka terima (PL) dan
juga menjadikannya relevan bagi iman dan praktik mereka. Bapa-bapa umat Kristen
setelah Origenes sangat menyenangi
metode alegoris dan menerapkannya untuk PB. Augustinus menganggap semua bagian
di dalam perumpamaan Yesus tentang Orang Samaria yang Baik Hati mempunyai makna
yang 'lebih dalam'; jadi, rumah penginapan (Luk. 10: 34) yang memberi pertolongan itu melambangkan Gereja.
4.
Contoh
Penafsiran Alegoris
1.
Penafsiran Alegoris Philo dapat sedikit dikenal melalui
penjelasannya untuk kitab Kejadian 2 : 10-14. Ia berpendapat nama sungai-sungai
dalam kitab Kejadian mempunyai arti tertentu. Pison adalah kebijaksanaan; Gihon
adalah keberanian; Tigris adalah penguasaan diri; sedangkan Efrat adalah
keadilan.
2.
Dalam surat Paulus yang ditujukan ke
daerah Galatia, yaitu Galatia (4:21-31) memberikan contoh perbandingan antara
Hagar dan Sara dalam kaitan orang merdeka dan budak. Melalui penafsiran
alegoris-tipologis narasi Sara dan Hagar dalam kitab Kejadian, Paulus hendak
menekankan perbedaan antara hidup di bawah HT (Hukum Taurat) dan Anugerah.
3.
Cerita
Sakeus, dalam cerita ini ada simbol-simbol yang bisa diangkat; seperti: SAKEUS
PENDEK, ORANG BANYAK, POHON DAN YESUS.
v SAKEUS PENDEK
Pendek melambangkan keterbatasan. Sakeus
orangnya pendek, dia tidak pernah merencanakan tubuhnya pendek, tetapi dia
sudah terlahir pendek. "PENDEK" menunjukkan terbatas. Sakeus sangat
terbatas, dia tidak bisa melihat Yesus, karena dia pendek, sedangkan
orang-orang pada zaman itu tinggi-tinggi.
v ORANG BANYAK
Orang banyak melambangkan masalah,
orang banyak membuat Sakeus tidak bisa melihat Yesus, seandainya orang banyak
tidak ada, maka Sakeus tidak mengalami masalah. Orang banyak adalah masalah
bagi sakeus, maka dia mencari jalan keluar.
v POHON
Pohon melambangkan solusi,
Sakeus memanjat pohon, karena dia pendek, maka dengan baik pohon dia bisa
melihat Yesus.
Penafasiran ini kelihatanya benar dan menarik dan sangat
inspiratif, tetapi masalahnya tidak selalu seperti. Tidak selalu pendek
menjadikan terbatas, tidak selalu orang banyak jadi masalah, dan tidak selalu
pohon ada solusi.
Jika
dianalisa: Dimana ada orang banyak, disuti ada pohon.(belum tentu) atau dimana
ada orang pendek, disitu selalu ada pohon (tidak ada jamin, apalagi kalau
dipadang gurun).
Ada
beberapa contoh lain dalam nats Alkitab yang menggunakan pendekatan alegoris,
yaitu : Hak 9 : 8 – 15 ( Pohon-pohon yang mencari seorang raja), Yes 11 : 6 – 8
(Kerajaan Allah menggambarkan tentang serigala dan domba yang tinggal
bersamaan), Yes 35 ( Padang Gurun mekar
sebagai mawar), Gal 4 : 24 (dua perjanjian).
5. Kelebihan
dan Kelemahan
Sebenarnya ada
unsur-unsur positif penafsiran alegoris, pola penafsiran ini dibangun dengan
sikap yang sangat menghormati Alkitab, tujuan yang baik untuk mencari makna
yang tersembunyi di dalam Alkitab. Tetapi ini tidak menutup beberapa
kelemahannya yang begiu serius.
1. Pola
penafsiran ini melalaikan unsur historis dalam Alkitab , sehingga apa yang
dicata sejarah seolah-olah tidak sungguh-sungguh terjadi.
2. Penafsiran
ini kurang memperhatikan faktor bahwa wahyu Allah diberikan secara bertahap,
sehingga ada kalanya PL justru dianggap lebih jelas daripada PB.
3. Penafsir
alegoris percaya Alkitab terutama PL penuh dengan perumpamaan, teka-teki, dan
hal-hal yang sulit dipahami. Jadi ini semua perlu dijelaskan dengan penafsiran
alegoris.
4. Mereka
mengaburkan penafsiran tipologis dan alegoris. Penafsiran ini juga condong
mencampur-baurkan alegori dengan misik anti alegori (rohani).
5. Mereka
percaya pola penafsiran ini dapat menemukan filsafat Yunani yang tercantum
dalam PL.
6. Menafsir
alegoris bersifat sangat subyektif dan condong kepada imajinasi-imajinasi yang
tidak terkontrol.
7. Mereka
menerima Firman Allah menjadi kabur dan tidak jelas.
Kesimpulan
Penafsiaran
alegoris merupakan bagian dari pendekatan populer penafsiran-penafsiran di
zaman Yunani –Romawi. Penafsiran Allegori digunakan untuk menggali makna lebih
dalam dari sutu teks yang biasaanya berupa perumpaan. Banyak penulis dan
cendikiawan yang berlatarbelakang yunani bergabung dengan agama Kristen. Hal
ini mempengaruhi penafsiran-penafsiran
alegoris menjadi terkenal pada abad pertama. Pembaca teks menggali maksud yang
ingin disampaikan pengarang, dan tidak berdasar pada penafiran harafiahnya.
Referensi
- http://id.wikipedia.org/wiki/Penafsiran_Alegoris copyright © 2005-2014 Yayasan
Lembaga SAB
http://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=ALEGORI kamus Alkitab, A
Dictionary of the Bible
- Pdt.
Hasan Sutanto, D.Th, Hermeneutik :
Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab.
- R.J.Coggin
dan J.L Houlden, The Dictionary of
Biblical Interpretation
R.J.Coggin
dan J.L Houlden, The Dictionary of
Biblical Interpretation